Thursday, July 7, 2011

Fault - A SasuSaku Fanfics

Fault
A Naruto Fanfiction © Kurousa Hime
Naruto © Masashi Kishimoto
20110531
SakuraSasukeHinata
.
-Don't Like Don't Read-
-Need No Flame Reviews-
.
Summary: "Aku…"/"Tidak merasa pernah menjalin hubungan apa-apa denganmu."/Dan sosok itu beralalu dengan menggandeng tangan mungil seseorang yang kini sangat dicintainya.
.
Pertengahan musim dingin, hari yang membekukan. Kebanyakan orang mungkin akan mengurung diri di rumah mereka, menyalakan penghangat ruangan atau meminum cokelat yang baru saja diseduh.
Tapi hal itu tak berlaku bagi Sakura. Bulan ini adalah waktu favoritnya. Dimana ia merasakan hembusan angin yang dapat mengajak tengkuknya bergetar karena dingin, mengubah warna kukunya yang semula merah muda sehat menjadi kebiruan. Ia begitu menikmati kepingan salju yang mendarat di rambut gulali, membuat laipsan putih yang membeku.
Sama halnya dengan salju yang membeku itu, hati Sakura kini sudah membeku. Dia menyesali segalanya. Betapa bodohnya dia waktu dahulu. Dulu, dua tahun yang lalu adalah masa kebodohan Sakura. Melepas orang yang dicintainya―dan yang mencintainya―sepenuh hati hanya karena ingin mengejar egonya sebagai murid di Deutch Medical School.
Dan hanya karena kepergian Sakuralah, hubungan mereka―Sakura dan kekasihnya―kandas di tengah jalan yang sudah berlangsung satu tahun mereka jalani. Sakura kecewa. Benar-benar kecewa dengan tindakan bodohnya itu.
Namun apa daya, 'Penyesalan memang selalu berada di akhir'. Pepatah itu selalu benar. Tidak ada yang tidak benar.
.
.
.
Dua tahun sudah dilewati dengan duka maupun suka. Bagi Sakura, dua tahun waktu yang cukup singkat untuk menempuh belajar sementaranya. Sudah waktunya dia kembali ke tanah air juga kepangkuan kekasihnya yang dia tinggalkan begitu saja.
Tapi, gadis berambut gulali itu tidak tahu. Bahwa dua tahun itu waktu yang sangat lama. Waktu yang dapat membuat kekasihnya berpaling darinya dan menemukan cinta yang baru. Dan dua tahun itulah waktu kebodohan untuk Sakura.
.
.
.
Musim semi saat beranjak ke tingkat dua belas menengah.
"Welcome home, Forehead!" sahabatku si Barbie memelukku dengan sangat kencang saat aku baru tiba di bandara pagi itu.
"Ino-buta!" kubalas pelukannya. Begitu rindunya aku kepada sahabatku itu. Bulir air mata haru keluar dengan sendirinya. Kami berpandangan sesaat―melihat ekspresi wajah masing-masing―lalu tertawa terbahak-bahak.
"Mendokusai…," desah si rambut nanas. Aku mendelik kepadanya. Ternyata dia ikut juga menjemputku. "Welcome…" disertai senyuman tulusnya, dia merentangkan sebelah tangan kanannya.
"Arigatou, Shikamaru!" akupun memeluknya. Well, mereka berdua sama-sama sahabatku yang paling baik karena sudah mau repot-repot menjemputku saat upacara masuk sekolah.
"Ehem!" Ino berdehem agak kencang. Tangannya dilipat di depan dada dan dengan tampang agak sebalnya menatap kami.
"Hahaha… Jangan cemburu, Ino-buta!" aku menyikut lengannya. Lalu dia balas dengan merangkul bahuku.
"Enak saja! Hahaha…" Ino mengacak-acak rambutku dengan gemasnya. "Aku tidak mungkin cemburu jika kepadamu, Forehead!"
"Ya, tentu! Omong-omong aku tidak sabar untuk masuk sekolah besok. Aku ingin melihat Naruto dan dia!" semangatku.
Sepersekian detik setelah aku mengatakan 'dia', ekspresi Ino sedikit agak berubah. Ada raut cemas, marah, dan entahlah apa itu. Namun, dengan segera dia langsung kembali ceria.
"Jangan terlalu bersemangat, Sakura. Kuharap kau tahu apa yang akan terjadi besok di sekolah." Ucapnya datar dan itu membuatku pensaran seketika.
Apa itu, Ino?
.
.
.
Ternyata perasaan yang muncul sejak kemarin malam adalah hal ini. Perasaan gelisah, terasa menusuk-nusuk hati, dan terasa menyedot seluruh rasa kebahagiaanku saat bertemu dia.
Ini maksudnya.
Ini yang dimaksud oleh Ino.
Bahwa dia―kekasihku―Uchiha Sasuke, sudah mempunyai kekasih lain.
Ah, tak pantas rasanya bibir ini mengucap bahwa dia masih kekasihku. Dia sudah menjadi kekasih orang lain, dia sudah bukan milikku lagi. Tapi… Kenapa?
.
.
.
Ada rasa kaget saat iris obsidian yang kelam dan dingin itu melihatku masuk bersama Kakashi-sensei masuk ke dalam ruang kelas Sains. Kakashi-sensei tentu memperkenalkan aku sebagai murid baru kembali, dan hampir sebagian dari isi kelas itu mengenalku.
Mengenalku si gadis berambut merah muda yang dulunya teman, sahabat, juga kekasih dari pria terdingin di sekolah, Uchiha… Sasuke…
Dan betapa terkejutnya aku saat mendapati tangan pucat Sasuke menggenggam tangan seseorang yang berada di bangku kanan mejanya.
Seorang gadis dengan rambut biru panjang sedang menunduk, menahan wajahnya yang memerah dan memucat bersamaan. Wajahnya sungguh cantik dan juga manis.
Aku tersenyum kecut.
Jauh. Jauh sekali. Dia jauh lebih baik dariku.
Dan itu cukup menancap keras di dasar lubuk hatiku.
.
.
.
"Aku, Haruno Sakura. Kau dapat memanggilku Sakura." Kuulurkan tanganku saat mereka berdua tiba di bangku panjang tempat biasa kami makan di kantin bersama-sama.
"A-aku… Hyuuga Hinata… Salam kenal." Bicaranya agak terbata dan dengan volume yang kecil memberikan aku gambaran sifat bahwa anak ini pemalu dan gampang gugup.
"Dia adalah pacaraku." Tambah Sasuke.
Aku terbelalak kaget tidak percaya dengan apa yang baru diucapkan oleh si bungsu Uchiha itu. Padahal, sejak aku dating di sini dia belum pernah berbicara apapun dan tahu-tahu, dia…
Ah, pupus sudah.
"Aku tahu." Ucapku sambil tersenyum miris. "Ah, maaf. Aku harus ke ruangan Tsundae-shisou dulu untuk mengurus kepindahanku."
Aku buru-buru beranjak dari sana sebelum air mataku tumpah ruah di depan teman-temanku. Ino yang menyadari situasi sepertinya, langsung mengikuti keluar juga.
Akhirnya jebol sudah pertahananku untuk membendung air asin yang keluar dari mata ini. Aku terduduk di bangku taman panjang belakang yang sepi. Kurutuki diriku yang begitu cengeng kembali.
"Dia adalah pacaraku."
Perkataan Sasuke seolah terus menggema di pikiranku. Tak terhapus, tak terabaikan, tak terlupakan. Begitu mendengar kata-kata itu, hati ini serasa ditimpa berkilo-kilo besi. Belum pernah ada Sasuke berucap begitu dulu saat Ia masih menjadi kekasihnya. Dan saat Sasuke mengatakannya unttuk orang lain di depan mantanmu, aku seakan tersadar dari mimpi buruk. Mimpi yang ia tahu takkan pernah tercapai.
Aku mencintai Uchiha Sasuke. Sangat malah.
Aku mencintai Sasuke dengan segenap raga. Sejak dulu, dulu sekali, tek pernah sekali pun aku memalingkan muka darinya. Bagiku, Sasuke adalah cinta pertama dan terakhir.
.
.
.
"Saat kau pergi dari sini, Dia tampak tak bernyawa kembali. Lebih dingin dibanding saat kau bersamanya. Dan sebulan saat kau pergi datanglah Ia. Ia tidak begitu gampang bersosialisasi sama seperti dia. Mereka―entah kapan―menjadi akrab setelah dua bulan bersama. Dan aku baru menyadarinya saat ia menceritakannya kepadaku bahwa dia menembaknya."
"Aku kaget. Sangat. Aku sempat bertanya padanya mengapa dia melakukan hal sekejam ini kepadamu. Dan kau tahu dia jawab apa? Katanya 'ini semua salahnya. Aku begini karenya. Aku mencintainya namun dia meninggalkanku pergi dan mencampakkan aku. Salahkah aku?' kau tahu, aku tidak bisa berkata apa-apa setelahnya. Mungkin dia benar dan mungkin kau juga benar."
"Terkadang, seorang pria memang tidak bisa ditinggal oleh orang yang dicintainya dalam waktu lama. Dia akan bosan, jenuh dan tak percaya. Dia akan lebih memilih untuk melupakan dibanding mempertahankan. Karena pada dasarnya… tidak ada orang yang bisa bertahan dikesendiriannya…"
Kau benar Ino. Tidak ada yang akan tahan jika ditinggalkan sendiri tanpa keputusan yang jelas. Lebih baik melangkah maju, memang. Tapi, aku masih mengharapkannya, Ino…
.
.
.
"Aku mencintaimu, Hinata. Tak peduli dia masih mencintaiku atau tidak. Tapi, sekarang di hatiku hanya ada kau."
Sekujur tubuhku kaku, mengkram. Ucapan Sasuke yang diam-diam kudengar kepada Hinata membuatku merasa menjadi pengganggu.
"Ta-tapi, Sasuke-kun… Mereka… me-menginginkanmu… berpasangan bersama… Sakura-san…" isakkan kecil mulai terdengar dari lantunan lembayu tersebut.
"Tidak peduli. Mereka tidak mengerti betapa aku mencintaimu sekarang! Kau percaya padaku?"
"A-aku… percaya padamu…"
Mereka saling menautkan tubuh. Meresapi betapa hangatnya, betapa tak terpisahkannya mereka. Jadi di siniliah posisiku kini.
Tidak lagi berada dalam hati Sasuke. Tidak lagi berada di manapun. Tidak ada yang menginginkanku. Sasuke mencintaiya. Jelas. Oh, sangat jelas!
Menggembirakan. Perlukah ada champagne disajikan di sini?—Mungkin tidak. Lebih baik menyediakan perban...
... untuk menahan kucuran darah kesedihan yang terus mengalir dari luka hatiku.
.
.
.
Sebenarnya untuk apa aku berada di Konoha? Untuk memperbaiki hal yang sudah rusak? Oh, tidak. tidak akan bisa. Benda yang rusak itu ternyata sudah tidak bisa diperbaiki, malah sudah ada seseorang yang menggantikannya dengan yang baru.
Lagipula mana ada barang yang sudah sedemikian rusakknya oleh perbuatan kita itu dapat kita perbaiki? Memangnya kita Tuhan yang bisa dapat segalanya? Tidak, tidak akan pernah bisa.
Ternayata, penyesalan selalu berujung dengan ketidakbahagiaan. Apakah sedemikian tak bisa digantikah pepatah itu? Tak bisakah diganti dengan takdir lain?
Oh, kau bercanda.
.
.
.
Seminggu sudah aku berada di sini. Menjadi anak baru yang selalu tersenyum miris tiap kali Sasuke bermesraan dengan Hinata. Dulu, dia tak pernah seperti itu kepadaku. Hanya sekedar berpegangan tangan dengan sedikit kecupan ringan di kening saat mengantarku pulang ke rumah.
Namun, dengan Hinata ternyata membuat Sasuke berubah dari segalanya. Dia jadi sering tertwa, tersenyum bahkan mencium pipi tembem Hinata tiap kali wajah sang gadis merona semerah tomat kesukaan Sasuke.
Miris. Miris sekali melihatnya. Terasa sudah koyak hati ini. Tidak dapat direparasi lagi.
Dan…
Akhirnya aku menyerah.
Aku menyerah dari segalanya.
Hei, bukankah di paragraph sebelumnya aku sudah bilang kalah? Oh, hell aku lupa sudah bilang soal itu. Kalah dan menyerah. Dua hal yang tidak dapat kupercaya untuk seorang tipe sepertiku.
.
.
.
Hinata seperti menahan air matanya untuk tumpah lebih cepat. Dia membawa surat-surat tak berguna dari lokernya.
Aku melihatnya dengan tatapan datar. Sudah bisa aku tebak apa isi dari surat itu. Mungkin sama dengan yang sebelum-sebelumnya aku dengar. Isi surat yang mengatakan bahwa aku lebih cocok bersanding dengan Sasuke ketimbang Hinata.
Aku tersenyum kecut melihat Hinata dengan baik hatinya memasukan surat itu satu-persatu ke dalam tas sekolahnya. Dia sungguh gadis yang sangat baik hati.
Aku merasa bodoh dan kekanakan.
Barang-barang Hinata jatuh dari genggamannya saat seorang cewek berambut merah marun menabraknya dengan kasar dan dia terjatuh.
Dasar lemah, tapi…
"Perlu bantuan?" Aku mengulurkan tanganku, tidak bermaksud baik juga tidak bermaksud jahat. Aku hanya ingin menolongnya saja. Cukupkan?
Tiba-tiba saja ada yang menepis uluran tanganku.
"Biar aku saja." Ucap suara dingin yang selalu kukenal dan selalu mengenai di ulu hatiku.
Hinata dengan wajah yang tertunduk mengucapkan terima kasih dan Sasuke menatapku dengan tajam. Tidak ada sebersit rasa kehangatan yang terpancar dari matanya, yang ada hanyalah rasa benci.
.
.
.
Apa yang disebut keberadaan?
Jasmaninya, pikirannya, masih tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Tapi pikiran dan raga itu hanyalah sebuah alat yang menyetir dirinya sebagai mesin untuk bergerak.
Dan kini, dia ada. Tetapi tidak ada.
Wajah itu lagi. Menatapnya. Tanpa ada rasa.
Di depannya hanya seonggok gadis yang telah mencampakkannya yang terlena dengan masa lalu mereka.
Dia bukan lagi pria yang dicintainya, dan mencintainya.
Yang akan selalu mencintainya.
"Sudah tidak ada lagi…"
"Hubungan di antara kita."
Ya. Hanya sebentuk pikiran dan raga. Tak ubahnya seonggok robot yang terprogran untuk mengikuti apa tuannya.
Dia tidak lagi hidup. Hatinya sudah mati. Untukku.
Mati total.
"Aku…"
"Tidak merasa pernah menjalin hubungan apa-apa denganmu."
Dan sosok itu beralalu dengan menggandeng tangan mungil seseorang yang kini sangat dicintainya.
Setidaknya masih ada sedikit serabut akar yang tersisa di hati Haruno Sakura.
Saat dia mulai tumbang. Jatuh.
Setidaknya masih tersirat fakta bahwa dia masih membawa rasanya, jauh di dalam lubuk hatinya, kepada orang yang paling dicintainnya. Uchiha Sasuke.
"Maaf… dan…"
"…aku…mencintaimu."
.
.
.
Saat waktu berjalan berbalik, kembali ke belakang.
Saat semua baru dimulai. Ternyata sudah begitu terlambatnya. Sudah tidak bisa direparasi. Sudah tidak akan bisa dipakai, digunakan, dimanfaatkan, ataupun dipedulikan.
Masih adakah?
Masih adakah tempat untuk menempatkan benih penyesalan di kemudian harinya? Masih adakah akar perasaan yang tertinggal di lubuk hatinya?
Dulu masih ada.
Jika memang dia mau untuk tidak bertindak egois dan mengambil keputusan yang sangat tepat.
.
.
.
Cinta, adalah sebuah pertautan antara dua makhluk berbeda. Sebuah hubungan teramat erat, menyisakan kehadiran masing-masing di dalam dada.
Cinta, adalah penyimpanan tanpa henti yang tiada pernah membiarkan apapun keluar, pergi, ataupun lenyap dari hadapannya.
Cinta, adalah sesuatu yang akan tetap ada. Selamanya.
O W A R I
Nna tahu ini sangat jelek.
Tidak ada feel.
Tidak nyambung.
Dan tidak ada jiwa.
Thanks yang udah mau baca, aku hargai kalian :D
Well, cerita ini memang terinspirasi dari salah satu Author yang laris manis di sini dengan judul from Y to Y.
Jujur, walau Nna ga suka pairs SasuHina tapi, salut juga buat cerita yang bagus kayak dia.
Nna Cuma pingin ambil sedikit aja bagaimana perasaan Sakura.
Hanya itu saja.
Gomen kalau Nna lancang.
Akan Nna hapus segera :3
Argitaou gozaimasu

No comments:

Post a Comment